Tidur Orang yang Puasa Adalah Ibadah?
Pola kebiasaan orang-orang
berubah saat bulan Ramadhan tiba. Mulai dari pola makan yang berganti jadwal;
dimulai sejak waktu sahur dan baru akan makan lagi saat azan Maghrib
berkumandang. Sarapan dan makan siang hilang dalam jadwal kebiasaan.
Kebiasaan lain yang juga ikut berubah saat puasa Ramadhan
adalah; pola tidur. Dalam arti sesungguhnya, mereka lebih banyak menghabiskan
waktu menunggu berbuka atau menunggu terbit matahari setelah Subuh dengan tidur
sebagai aktivitas utama.
Kenapa demikian?
Saat ditanya demikian, sebagian akan menjawab, “Tidurnya orang
yang puasa itu kan ibadah.” Menjawab sekenanya sambil melanjutkan tidurnya.
Maka siklus kegiatan Ramadhan orang-orang yang punya pemikiran
seperti ini tidak lebih dari hibernasi sepanjang hari.
Telaah Hadits Tidur
Orang yang Puasa adalah Ibadah
Orang-orang yang banyak tidur ketika puasa Ramadhan banyak
berdalih menggunakan hadits ini.
نَوْمُ
الصَّائِمِ عِبَادَةٌ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَعَمَلُهُ
مُضَاعَفٌ
“Tidur orang yang puasa adalah
ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya mustajab dan amalnya digandakan.” (HR.
Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman)
Takhrij Hadits Tidur
Orang yang Puasa Adalah Ibadah
Hadits ini yang biasa dijadikan argumen tidur orang yang puasa
adalah ibadah termaktub dalam kitab hadits Syu’abul
Iman karya Imam al-Baihaqi no. Hadits. 3652, 3653, dan 3654.
Masing-masing hadits tersebut diriwayatkan dengan rantai sanad
yang berbeda, namun dari jalur sahabat yang sama, yaitu dari Abdul Malik bin
‘Umair dari Abdullah bin Abi Aufa. Yang membedakan masih-masing riwayat adalah
silsilah rawi ke bawah. (Abu Bakar al-Baihaqi, Syuabul
Iman, Tahqiq wa Takhrij : Dr. Abdul ‘Ali Abdul Hamid, Riyadh: Al-Maktabah
ar-Rusyd, 1423 H. 5/421-423)
Imam al-Baihaqi mengomentari hadits tentang tidur orang yang
puasa adalah ibadah ini sebagai hadits yang lemah (dha’if). Sebab, dua perawi
hadits ini dinyatakan sebagi perawi yang lemah. “Ma’ruf
bin Hasan lemah, dan
Sulaiman bin Amru an-Nakha’i lebih lemah lagi.” (Abu Bakar
al-Baihaqi, Syu’abul
Iman, 5/423)
Imam al-Iraqi juga berkomentar tentang Sulaiman bin Amru
an-Nakha’i sebagai pendusta, Imam azh-Zhahabi juga memasukkan Abdul Malik bin
Umair yang meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Abi Aufa dalam jajaran
perawi yang lemah. Imam Ahmad juga mengomentari Abdul Malik bin ‘Umair
sebagai “Mudhtaribul
Hadits”. (Imam al-Munawi, Faidh
al-Qadir, 6/291)
Maka dari penjelasan para ulama tentang hadits ini dapat
disimpulkan bahwa secara periwayatan, hadits tentang tidur orang yang puasa
adalah ibadah ini lemah karena beberapa rawinya dinyatakan lemah bahkan
pendusta.
Perkara Mubah Dapat Bernilai Ibadah
Setiap kebiasaan adalah perkara yang masuk kategori mubah,
artinya boleh dikerjakan. Seperti makan, tidur, jalan-jalan, dan semisalnya,
selama ia tidak melanggar aturan syar’i ia termasuk perkara yang mubah. Boleh
dikerjakan.
Namun dalam beberapa keadaan, perkara-perkara mubah atau adat
bisa bernilai ibadah karena niat.
Sebuah kaidah menyatakan:
اَلْأُمُورُ
بِمَقَاصِدِهَا
“Segala
sesuatu itu tergantung dengan tujuannya (niat).”
(Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz
fi idhahi Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah, 122)
Kaidah ini berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
semua amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu, bahwa ada sahabat yang bertanya, apakah saat seorang suami
menjimak istrinya termasuk kebaikan (berpahala). Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Bagaimana pendapat kalian jika
ia disalurkan pada sesuatu yang haram, bukankah itu berdosa? Maka demikian,
jika ia disalurkan dengan cara yang halal, maka ia berpahala.” (HR.
Muslim)
Syaikh Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan bahwa
perkara-perkara mubah bisa bernilai ibadah jika diiringi dengan niat dalam
rangka taqarub kepada
Allah.
Semisal makan, minum, tidur, atau bekerja, jika diniatkan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap takwa, maka aktivitas
tersebut akan berpahala.
Begitu juga dengan menikah, jika ia diniatkan untuk
mengimplementasikan sunnah dan menjaga kemuliaan diri atau melanjutkan
regenerasi yang saleh, maka orang yang melakukannya akan mendapat pahala.
(Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz
fi Idhahi Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah, 129)
Kaidah ini dapat berlaku juga pada aktivitas tidur, tentunya
dengan niat yang benar. Yaitu meniatkan tidur dalam rangka menguatkan tubuh
untuk melanjutkan ibadah di waktu berikutnya, atau dengan niat agar bisa
qiyamul lail pada malam harinya.
Al-Munawi menjelaskan, jika seseorang beribadah dengan ikhlas,
maka tidur yang secara zahir adalah kegiatan yang melalaikan, namun saat
dilakukan dalam rangka untuk mendukung ibadah, maka kegiatan itu akan dihitung
sebagai ibadah. (Abdurrauf al-Munawi, At-Taisir
bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir, 2/893)
Namun jika tidur hanya untuk sekedar rebahan dan malas-malasan,
maka ini jauh dari semangat Ramadhan yang telah dicontohkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan para salaf terdahulu.
Ramadhan Adalah Bulan
Beramal, bukan Bulan Rebahan
Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh
kebaikan dan keberkahan. Pada bulan ini Allah subhanahu
wata’ala akan melipatgandakan pahala amal saleh, meluaskan
ampunan, dan menurunkan keberkahan-Nya. Pada intinya Ramadhan adalah bulan
beramal, bukan tiduran.
Mengisi hari-hari pada bulan Ramadhan dengan tiduran sangat jauh
dari semangat Ramadhan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabat.
Adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam saat Ramadhan tiba, beliau akan lebih fokus
lagi dalam beribadah. Mulai dari membaca al-Quran, qiyamul lail, dan ibadah
lainnya.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
“Malaikat
Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap malam bulan Ramadhan,
dan Nabi belajar (al-Quran) dengannya.”
(HR. Al-Bukhari)
Motivasi untuk menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan shalat
juga Rasulullah sampaikan. Seperti termaktub dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
“Barang
siapa menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh harap,
maka diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 2009; HR.
Muslim No. 759)
Aisyah juga menyebutkan bahwa di sepanjang malam bulan Ramadhan
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam biasa keluar menuju masjid untuk melaksanakan
shalat.
Kemudian para sahabat menjadi makmum di belakang beliau. Pasca
wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, amalan ini menjadi sunnah shalat tarawih
yang sering kita kerjakan. (HR. Al-Bukhari)
Inilah teladan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam menjalani bulan Ramadhan. Mengisinya
dengan penuh ketaatan dan amal saleh. Seperti yang ditulis oleh Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah,
“Petunjuk Nabi dalam menjalani Ramadhan adalah dengan
memperbanyak ibadah seperti memelajari al-Quran, sedekah di bulan Ramadhan,
berbuat kebaikan, membaca al qur an, shalat (sunnah), berzikir, dan i’tikaf. Nabi
selalu mengkhususkan bulan Ramadhan untuk ibadah dibandingkan bulan-bulan
lainnya. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zaad
al-Ma’ad, 2/30)
Teladan Nabi dalam menjalani Ramadhan ini diikuti oleh para
sahabat dan generasi setelahnya. Mereka menyibukkan diri dengan ibadah demi
mengejar kemuliaan dan keberkahan yang Allah janjikan dalam bulan Ramadhan.
Abdullah bin Abi Bakar ia berkata,
“Aku
mendengar bapakku (Abu Bakar ash-Shiddiq) berkata, ‘Jika
kami telah selesai qiyamul lail pada malam bulan Ramadhan, maka
kami akan bersegera untuk makan, karena
khawatir akan masuk waktu fajar (Subuh).”
(Al-Muwaththa’ Imam Malik, 1/85)
Kesungguhan para sahabat dalam menghidupkan malam dengan shalat
sulit ditandingi. Bagi mereka, malam adalah momen untuk berkhalwat dengan Allah
dalam shalat dan munajat.
Imam Nafi’ juga memberikan kesaksian tentang kesungguhan Ibnu
Umar radhiyallahu
‘anhu dalam Ibadahnya ketika Ramadhan, ia bertutur,
“Adalah
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
shalat di rumahnya pada bulan Ramadhan, dan saat orang-orang telah pulang dari
masjid, maka
Ibnu Umar akan mengambil seember air kemudian pergi menuju masjid Nabi (untuk
ibadah) dan
tidak keluar hingga waktu subuh tiba.” (HR. Al-Baihaqi)
Teladan mulia ini terus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Mereka adalah generasi terbaik dalam ibadah dan kesalehan.
Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa para salaf terdahulu
terbiasa mengkhatamkan al-Quran pada bulan Ramadhan setiap tiga hari sekali,
ada juga yang setiap tujuh hari sekali, ada yang setiap sepuluh hari sekali.
(Ibnu Rajab al-Hanbali, Latahif
al-Ma’arif, 171)
Adalah Imam Syafi’i, seperti yang dituturkan oleh Rabi’ bin
Sulaiman, bahwa ia mengkhatamkan al-Quran selama Ramadhan sebanyak 60 kali.
(Ibnu Abi Hatim, Adab
asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, 74)
Ada banyak sekali contoh dan teladan tentang cara mengisi
kegiatan selama bulan Ramadhan. Dan kita bisa pastikan bahwa Nabi, para
sahabat, dan para salaf dari generasi terbaik umat ini selalu menjalani
hari-hari di bulan Ramadhan dalam ibadah dan ketaatan. Bukan sekedar rebahan,
tiduran, atau malas-malasan.
Maka di madarasah ramadhan ini, gunakan kesempatan untuk
terus memperbaiki diri. Menata kesalehan, menambah amal ketaatan, dan memupuk
kebaikan.
Karena bersungguh-sungguh dalam ibadah adalah teladan para
salaful ummah. Menjadi pribadi-pribadi yang tidak pernah kenyang dalam ketaatan
dan ibadah. Wallahu
a’lam
0 comments:
Posting Komentar