Belajar bersama Masipin merupakan blogger yang berisikan tentang Pendidikan, Pertanian dan Dakwah.. Apabila ada kesesuaian dengan blog lain dan kesalahan upload kami mohon maaf.

Sabtu, 02 April 2022

Tidur Orang yang Puasa Adalah Ibadah?

 
Tidur Orang yang Puasa Adalah Ibadah?
Pola kebiasaan orang-orang berubah saat bulan Ramadhan tiba. Mulai dari pola makan yang berganti jadwal; dimulai sejak waktu sahur dan baru akan makan lagi saat azan Maghrib berkumandang. Sarapan dan makan siang hilang dalam jadwal kebiasaan.
Kebiasaan lain yang juga ikut berubah saat puasa Ramadhan adalah; pola tidur. Dalam arti sesungguhnya, mereka lebih banyak menghabiskan waktu menunggu berbuka atau menunggu terbit matahari setelah Subuh dengan tidur sebagai aktivitas utama.
Kenapa demikian?
Saat ditanya demikian, sebagian akan menjawab, “Tidurnya orang yang puasa itu kan ibadah.” Menjawab sekenanya sambil melanjutkan tidurnya.
Maka siklus kegiatan Ramadhan orang-orang yang punya pemikiran seperti ini tidak lebih dari hibernasi sepanjang hari.
 
Telaah Hadits Tidur Orang yang Puasa adalah Ibadah
Orang-orang yang banyak tidur ketika puasa Ramadhan banyak berdalih menggunakan hadits ini.
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidur orang yang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya mustajab dan amalnya digandakan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
 
Takhrij Hadits Tidur Orang yang Puasa Adalah Ibadah
Hadits ini yang biasa dijadikan argumen tidur orang yang puasa adalah ibadah termaktub dalam kitab hadits Syu’abul Iman karya Imam al-Baihaqi no. Hadits. 3652, 3653, dan 3654.
Masing-masing hadits tersebut diriwayatkan dengan rantai sanad yang berbeda, namun dari jalur sahabat yang sama, yaitu dari Abdul Malik bin ‘Umair dari Abdullah bin Abi Aufa. Yang membedakan masih-masing riwayat adalah silsilah rawi ke bawah. (Abu Bakar al-Baihaqi, Syuabul Iman, Tahqiq wa Takhrij : Dr. Abdul ‘Ali Abdul Hamid, Riyadh: Al-Maktabah ar-Rusyd, 1423 H. 5/421-423)
Imam al-Baihaqi mengomentari hadits tentang tidur orang yang puasa adalah ibadah ini sebagai hadits yang lemah (dha’if). Sebab, dua perawi hadits ini dinyatakan sebagi perawi yang lemah. “Ma’ruf bin Hasan lemahdan Sulaiman bin Amru an-Nakha’i lebih lemah lagi.” (Abu Bakar al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 5/423)
Imam al-Iraqi juga berkomentar tentang Sulaiman bin Amru an-Nakha’i sebagai pendusta, Imam azh-Zhahabi juga memasukkan Abdul Malik bin Umair yang meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Abi Aufa dalam jajaran perawi yang lemah. Imam Ahmad juga mengomentari Abdul Malik bin ‘Umair sebagai  “Mudhtaribul Hadits”. (Imam al-Munawi, Faidh al-Qadir, 6/291)
Maka dari penjelasan para ulama tentang hadits ini dapat disimpulkan bahwa secara periwayatan, hadits tentang tidur orang yang puasa adalah ibadah ini lemah karena beberapa rawinya dinyatakan lemah bahkan pendusta.
 
Perkara Mubah Dapat Bernilai Ibadah
Setiap kebiasaan adalah perkara yang masuk kategori mubah, artinya boleh dikerjakan. Seperti makan, tidur, jalan-jalan, dan semisalnya, selama ia tidak melanggar aturan syar’i ia termasuk perkara yang mubah. Boleh dikerjakan.
Namun dalam beberapa keadaan, perkara-perkara mubah atau adat bisa bernilai ibadah karena niat.
Sebuah kaidah menyatakan:
 اَلْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Segala sesuatu itu tergantung dengan tujuannya (niat).” (Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi idhahi Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah, 122)
Kaidah ini berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Sesungguhnya semua amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada sahabat yang bertanya, apakah saat seorang suami menjimak istrinya termasuk kebaikan (berpahala). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bagaimana pendapat kalian jika ia disalurkan pada sesuatu yang haram, bukankah itu berdosa? Maka demikian, jika ia disalurkan dengan cara yang halal, maka ia berpahala.” (HR. Muslim)
Syaikh Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan bahwa perkara-perkara mubah bisa bernilai ibadah jika diiringi dengan niat dalam rangka taqarub kepada Allah.
Semisal makan, minum, tidur, atau bekerja, jika diniatkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap takwa, maka aktivitas tersebut akan berpahala.
Begitu juga dengan menikah, jika ia diniatkan untuk mengimplementasikan sunnah dan menjaga kemuliaan diri atau melanjutkan regenerasi yang saleh, maka orang yang melakukannya akan mendapat pahala. (Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah, 129)
Kaidah ini dapat berlaku juga pada aktivitas tidur, tentunya dengan niat yang benar. Yaitu meniatkan tidur dalam rangka menguatkan tubuh untuk melanjutkan ibadah di waktu berikutnya, atau dengan niat agar bisa qiyamul lail pada malam harinya.
Al-Munawi menjelaskan, jika seseorang beribadah dengan ikhlas, maka tidur yang secara zahir adalah kegiatan yang melalaikan, namun saat dilakukan dalam rangka untuk mendukung ibadah, maka kegiatan itu akan dihitung sebagai ibadah. (Abdurrauf al-Munawi, At-Taisir bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir, 2/893)
Namun jika tidur hanya untuk sekedar rebahan dan malas-malasan, maka ini jauh dari semangat Ramadhan yang telah dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para salaf terdahulu.
 
Ramadhan Adalah Bulan Beramal, bukan Bulan Rebahan
Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan. Pada bulan ini Allah subhanahu wata’ala akan melipatgandakan pahala amal saleh, meluaskan ampunan, dan menurunkan keberkahan-Nya. Pada intinya Ramadhan adalah bulan beramal, bukan tiduran.
Mengisi hari-hari pada bulan Ramadhan dengan tiduran sangat jauh dari semangat Ramadhan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat.
Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat Ramadhan tiba, beliau akan lebih fokus lagi dalam beribadah. Mulai dari membaca al-Quran, qiyamul lail, dan ibadah lainnya.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Malaikat Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap malam bulan Ramadhan, dan Nabi belajar (al-Quran) dengannya.” (HR. Al-Bukhari)
Motivasi untuk menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan shalat juga Rasulullah sampaikan. Seperti termaktub dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh harap, maka diampuni dosa yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari No. 2009; HR. Muslim No. 759)
Aisyah juga menyebutkan bahwa di sepanjang malam bulan Ramadhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat.
Kemudian para sahabat menjadi makmum di belakang beliau. Pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, amalan ini menjadi sunnah shalat tarawih yang sering kita kerjakan. (HR. Al-Bukhari)
Inilah teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjalani bulan Ramadhan. Mengisinya dengan penuh ketaatan dan amal saleh. Seperti yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
“Petunjuk Nabi dalam menjalani Ramadhan adalah dengan memperbanyak ibadah seperti memelajari al-Quran, sedekah di bulan Ramadhan, berbuat kebaikan, membaca al qur an,  shalat (sunnah), berzikir, dan i’tikaf. Nabi selalu mengkhususkan bulan Ramadhan untuk ibadah dibandingkan bulan-bulan lainnya. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zaad al-Ma’ad, 2/30)
Teladan Nabi dalam menjalani Ramadhan ini diikuti oleh para sahabat dan generasi setelahnya. Mereka menyibukkan diri dengan ibadah demi mengejar kemuliaan dan keberkahan yang Allah janjikan dalam bulan Ramadhan.
Abdullah bin Abi Bakar ia berkata,
Aku mendengar bapakku (Abu Bakar ash-Shiddiq) berkata, ‘Jika kami telah selesai qiyamul lail pada malam bulan Ramadhan, maka kami akan bersegera untuk makan, karena khawatir akan masuk waktu fajar (Subuh).” (Al-Muwaththa’ Imam Malik, 1/85)
Kesungguhan para sahabat dalam menghidupkan malam dengan shalat sulit ditandingi. Bagi mereka, malam adalah momen untuk berkhalwat dengan Allah dalam shalat dan munajat.
Imam Nafi’ juga memberikan kesaksian tentang kesungguhan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ibadahnya ketika Ramadhan, ia bertutur,
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu anhu shalat di rumahnya pada bulan Ramadhan, dan saat orang-orang telah pulang dari masjid, maka Ibnu Umar akan mengambil seember air kemudian pergi menuju masjid Nabi (untuk ibadahdan tidak keluar hingga waktu subuh tiba.” (HR. Al-Baihaqi)
Teladan mulia ini terus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Mereka adalah generasi terbaik dalam ibadah dan kesalehan.
Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa para salaf terdahulu terbiasa mengkhatamkan al-Quran pada bulan Ramadhan setiap tiga hari sekali, ada juga yang setiap tujuh hari sekali, ada yang setiap sepuluh hari sekali. (Ibnu Rajab al-Hanbali, Latahif al-Ma’arif, 171)
Adalah Imam Syafi’i, seperti yang dituturkan oleh Rabi’ bin Sulaiman, bahwa ia mengkhatamkan al-Quran selama Ramadhan sebanyak 60 kali. (Ibnu Abi Hatim, Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, 74)
Ada banyak sekali contoh dan teladan tentang cara mengisi kegiatan selama bulan Ramadhan. Dan kita bisa pastikan bahwa Nabi, para sahabat, dan para salaf dari generasi terbaik umat ini selalu menjalani hari-hari di bulan Ramadhan dalam ibadah dan ketaatan. Bukan sekedar rebahan, tiduran, atau malas-malasan.
Maka di madarasah ramadhan ini, gunakan kesempatan untuk terus memperbaiki diri. Menata kesalehan, menambah amal ketaatan, dan memupuk kebaikan.
Karena bersungguh-sungguh dalam ibadah adalah teladan para salaful ummah. Menjadi pribadi-pribadi yang tidak pernah kenyang dalam ketaatan dan ibadah. Wallahu a’lam
 

0 comments:

Posting Komentar

<<< P e n d i d i k a n >>> <<< P e r t a n i a n >>>