Mengomentari Makanan
Tahanlah lisan untuk mengomentari makanan. Karena teladan dari akhlak nubuwah yang dicontohkan kepada kita begitu sederhana; makanlah sesuatu yang cocok jika itu sesuai dengan selera, dan tinggalkan tanpa perlu berkomentar sesuatu yang mungkin kurang disuka.
“Makanan apa ini?” Sergah juri setelah mencicipi makanan yang tersaji. “…rasanya kayak sampah!” sembari mengeluarkan makanan yang baru saja ia cicipi dari mulut lalu memuntahkannya ke tempat sampah.
Dengan
tatapan mengintimidasi, sang juri menatap peserta lomba masak yang berdiri di
depannya. Peserta pun hanya bisa tertunduk. Dari air wajahnya tampak bahwa ia
merasa sedih, malu, dan kecewa.
Itu
sepenggal bagian dari sebuah acara TV Nasional yang menayangkan perlombaan
masak, di mana para peserta menyajikan hidangan makanan untuk kemudian dikomentari
para juri.
Jika
makanan tersebut memuaskan lidah dalam subjektifitas juri, maka para peserta
tetap berada dalam kompetisi. Adapun peserta yang hasil masakannya terlanjur
dinilai “tidak enak”, harus angkat kaki dari panggung pertunjukan.
Kita
tidak akan mengomentari acara tersebut lebih jauh, akan tetapi ada satu bagian
penting dari akhlak nubuwah yang bisa dipetik dalam kasus yang serupa, yaitu
soal mengomentari makanan.
Adalah
akhlak Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam soal makanan begitu menakjubkan. Banyak
riwayat kesaksian para sahabat bagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah pribadi yang begitu sederhana dalam
hal makanan.
Bahkan
beliau cenderung lebih sering kelaparan dan kekurangan. Seperti yang dituturkan
oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang menceritakan kondisi rumah tangga Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam,
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ
لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
“Tidak
pernah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan kenyang sejak
tiba di Madinah dari makan gandum untuk tiga hari berturut-turut hingga beliau
wafat.” (HR. Al-Bukhari)
Penuturan
senada juga datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu yang sering membersamai Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, ia berkata,
وَالَّذِى نَفْسُ أَبِى هُرَيْرَةَ
بِيَدِهِ مَا شَبِعَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَهْلُهُ ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ حِنْطَةٍ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
“Demi
jiwa Abi Hurairah yang berada dalam genggaman-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak pernah merasakan kenyang untuk tiga hari berturut-turut dari
makanan gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Muslim)
Mari
sejenak merenung perihal kehidupan kekasih Allah, Nabi kita yang Mulia Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, bagaimana kehidupan pemimpin para Nabi ini begitu
sangat sederhana, bahkan lebih sering merasakan kesusahan dan kepayahan.
Karena
kehidupan yang demikianlah yang menyebabkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam begitu menghormati makanan apa pun yang
disajikan kepada beliau. Apa yang beliau sukai maka dimakan, adapun yang kurang
diminati maka beliau tinggalkan tanpa komentar berlebihan.
Akhlak
nubuwah soal mengomentari makanan ini bukan hal yang mudah. Bahkan tidak
berlebihan akhlak ini adalah bagian dari mukjizat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam; mampu menahan diri untuk mengomentari makanan
yang kurang disukai.
Tidak
jarang saat ditawari tempat makan yang akan dikunjungi, dan terdapat beberapa
opsi, sadar atau tidak kita telah mengomentari makanan pada tempat-tempat
tersebut. “Jangan
di toko ini, dagingnya agak alot”, “jangan
makan di sana, kuahnya kurang bumbu”, atau “Makan
di toko itu saja, jangan di sini, di sini makanannya gak enak.”
Contoh-contoh
seperti ini akrab dalam kehidupan kita, dan hal tersebut dianggap lumrah dan
biasa. Soal rasa lidah tidak bisa bohong, kecenderungan memilih makanan yang
cocok di lidah adalah penting untuk mendapatkan kepuasan ketika menyantap
hidangan. Semua orang demikian.
Tapi
hal yang perlu jadi catatan adalah; mengomentari makanan yang lebih cenderung
kepada celaan, inilah yang sulit sekali untuk dihindari. Bersabar untuk tetap
makan di sebuah tempat yang tidak diminati bukan hal mudah. Rasanya ingin
sekali mengomentari rasa dari rupa-rupa makanan yang disajikan.
Kurang
ini, kurang itu, menjadi hal wajib untuk diutarakan, dan inilah hal yang jauh
dari akhlak nubuwah yang Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ajarkan.
Nabi Tidak Mencela
Makanan
Sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu menghafal kebiasaan Nabi yang satu ini. Bahwa termasuk
akhlak nubuwah yang diteladankan Nabi kepada umatnya adalah; tidak sekalipun
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mencela makanan.
قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- طَعَامًا قَطُّ كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ
كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sekalipun.
Apabila beliau suka, beliau memakannya, jika beliau tidak suka, beliau
meninggalkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Imam
Nawawi menjelaskan ukuran yang masuk dalam kategori mencela makanan, seperti
seseorang yang mengatakan, “Ini
terlalu asin”, “Makanan
ini kurang garam”, “Ini
terlalu asam”, “Terlalu
encer”, “Belum
matang” dan kalimat-kalimat serupa dengan itu. (Syarh
Shahih Muslim, Imam Nawawi, 14/26)
Rasa-rasanya
kebiasaan mengomentari makanan sangat familiar dan menjadi kebiasaan. Inilah
akhlak nubuwah yang telah ditinggalkan kaum muslimin, kebiasaan yang terlihat
remeh dan dianggap biasa, tapi akhlak tersebut mengandung ketinggian budi dan
kesempurnaan adab yang diajarkan Nabi kepada kita.
Episode
lain tentang teladan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentang makanan adalah; ketika dihidangkan
makanan yang kurang beliau sukai adalah ketika istri beliau Maimunah radhiyallahu
‘anha menghidangkan kadal gurun (Dhabb)
yang dipanggang kepada beliau.
Akan
tetapi Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tidak menyentuhnya sama sekali. Khalid bin
Walid yang pada kesempatan itu berada di sana bertanya, “Apakah
ini haram ya Rasulullah?” pertanyaan untuk memastikan tentang
hukum memakannya.
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang kurang suka dengan dhabb berkomentar
dengan sangat halus ketika menolak untuk memakannya. Sebuah komentar tanpa
celaan atas apa yang dihidangkan, beliau bersabda:
“Tidak, akan tetapi dhabb ini tidak ada di kampungku, sehingga aku
kurang suka.” (HR. Al-Bukhari)
Sebuah
tutur yang indah dan adab penuh hikmah dalam berkomentar akan makanan yang
kurang disukai, dan inilah yang telah diteladankan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam kepada umatnya, agar tidak mudah mencela
makanan yang kurang disuka.
Juga
termasuk akhlak nubuwah adalah memuji makanan yang dihidangkan, meskipun
makanan tersebut sangat-sangat sederhana. Dan hal ini termasuk pemuliaan
terhadap orang yang telah menghidangkan makanan tersebut.
Adalah
sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu mempunyai satu memori indah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pada sebuah jamuan. Di mana Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam suatu ketika bertanya kepada keluargnya soal
makanan apa yang tersedia.
Ternyata
yang dimiliki saat itu sekedar cuka, dan tidak ada yang lain. Hanya cuka. Maka
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam meminta cuka tersebut dihidangkan, kemudian
berkomentar,
نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ
الْخَلُّ
“Sebaik-baik lauk adalah cuka. Sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim)
Inilah
kesederhanan dan akhlak nubuwah yang hilang dari kehidupan kaum muslimin saat
ini. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan moderen yang condong kepada gaya hidup
hedonis, adab dan akhlak soal kesederhanaan mulai terkikis.
Bersyukurlah, Apapun
Makananmu
Menikmati
makanan yang dimiliki adalah bagian dari bentuk syukur nikmat atas rezeki yang
Allah berikan. Dan dengan tidak mengomentari dengan celaan atas makanan adalah
wujud beryukur atas nikmat yang masih diberikan.
Tahanlah
lisan untuk mengomentari makanan. Karena teladan dari akhlak nubuwah yang
dicontohkan kepada kita begitu sederhana; makanlah sesuatu yang cocok jika itu
sesuai dengan selera, dan tinggalkan tanpa perlu berkomentar sesuatu yang
mungkin kurang disuka.
Maka
dengan melazimi akhlak nubuwah ini, kita menghormati mereka yang telah berupaya
menghadirkan makanan untuk kita sekaligus wujud syukur atas nikmat Allah.
Semoga
Allah hadirkan dalam hati setiap kita rasa cukup dan ridha atas makanan yang
dimiliki, dan dijadikan lisan-lisan kita melafalkan pujian untuk makanan yang
didapati, serta dijauhkan dari tabiat suka mencela makanan yang kurang
diminati. Wallahu
a’lam
0 comments:
Posting Komentar