Belajar bersama Masipin merupakan blogger yang berisikan tentang Pendidikan, Pertanian dan Dakwah.. Apabila ada kesesuaian dengan blog lain dan kesalahan upload kami mohon maaf.

Sabtu, 02 April 2022

Mengomentari Makanan

Mengomentari Makanan

Tahanlah lisan untuk mengomentari makanan. Karena teladan dari akhlak nubuwah yang dicontohkan kepada kita begitu sederhana; makanlah sesuatu yang cocok jika itu sesuai dengan selera, dan tinggalkan tanpa perlu berkomentar sesuatu yang mungkin kurang disuka.

Makanan apa ini?” Sergah juri setelah mencicipi makanan yang tersaji. “…rasanya kayak sampah!” sembari mengeluarkan makanan yang baru saja ia cicipi dari mulut lalu memuntahkannya ke tempat sampah.

Dengan tatapan mengintimidasi, sang juri menatap peserta lomba masak yang berdiri di depannya. Peserta pun hanya bisa tertunduk. Dari air wajahnya tampak bahwa ia merasa sedih, malu, dan kecewa.

Itu sepenggal bagian dari sebuah acara TV Nasional yang menayangkan perlombaan masak, di mana para peserta menyajikan hidangan makanan untuk kemudian dikomentari para juri.

Jika makanan tersebut memuaskan lidah dalam subjektifitas juri, maka para peserta tetap berada dalam kompetisi. Adapun peserta yang hasil masakannya terlanjur dinilai “tidak enak”, harus angkat kaki dari panggung pertunjukan.

Kita tidak akan mengomentari acara tersebut lebih jauh, akan tetapi ada satu bagian penting dari akhlak nubuwah yang bisa dipetik dalam kasus yang serupa, yaitu soal mengomentari makanan.

Adalah akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam soal makanan begitu menakjubkan. Banyak riwayat kesaksian para sahabat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang begitu sederhana dalam hal makanan.

Bahkan beliau cenderung lebih sering kelaparan dan kekurangan. Seperti yang dituturkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan kondisi rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ

Tidak pernah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan kenyang sejak tiba di Madinah dari makan gandum untuk tiga hari berturut-turut hingga beliau wafat.” (HR. Al-Bukhari)

Penuturan senada juga datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang sering membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata,

وَالَّذِى نَفْسُ أَبِى هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ مَا شَبِعَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَهْلُهُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ حِنْطَةٍ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.

Demi jiwa Abi Hurairah yang berada dalam genggaman-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah merasakan kenyang untuk tiga hari berturut-turut dari makanan gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Muslim)

Mari sejenak merenung perihal kehidupan kekasih Allah, Nabi kita yang Mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana kehidupan pemimpin para Nabi ini begitu sangat sederhana, bahkan lebih sering merasakan kesusahan dan kepayahan.

Karena kehidupan yang demikianlah yang menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menghormati makanan apa pun yang disajikan kepada beliau. Apa yang beliau sukai maka dimakan, adapun yang kurang diminati maka beliau tinggalkan tanpa komentar berlebihan.

Akhlak nubuwah soal mengomentari makanan ini bukan hal yang mudah. Bahkan tidak berlebihan akhlak ini adalah bagian dari mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; mampu menahan diri untuk mengomentari makanan yang kurang disukai.

Tidak jarang saat ditawari tempat makan yang akan dikunjungi, dan terdapat beberapa opsi, sadar atau tidak kita telah mengomentari makanan pada tempat-tempat tersebut. “Jangan di toko ini, dagingnya agak alot”, “jangan makan di sana, kuahnya kurang bumbu”, atau “Makan di toko itu saja, jangan di sini, di sini makanannya gak enak.”

Contoh-contoh seperti ini akrab dalam kehidupan kita, dan hal tersebut dianggap lumrah dan biasa. Soal rasa lidah tidak bisa bohong, kecenderungan memilih makanan yang cocok di lidah adalah penting untuk mendapatkan kepuasan ketika menyantap hidangan. Semua orang demikian.

Tapi hal yang perlu jadi catatan adalah; mengomentari makanan yang lebih cenderung kepada celaan, inilah yang sulit sekali untuk dihindari. Bersabar untuk tetap makan di sebuah tempat yang tidak diminati bukan hal mudah. Rasanya ingin sekali mengomentari rasa dari rupa-rupa makanan yang disajikan.

Kurang ini, kurang itu, menjadi hal wajib untuk diutarakan, dan inilah hal yang jauh dari akhlak nubuwah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan.

 

Nabi Tidak Mencela Makanan

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menghafal kebiasaan Nabi yang satu ini. Bahwa termasuk akhlak nubuwah yang diteladankan Nabi kepada umatnya adalah; tidak sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencela makanan.

قَالَ مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا قَطُّ كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya, jika beliau tidak suka, beliau meninggalkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Imam Nawawi menjelaskan ukuran yang masuk dalam kategori mencela makanan, seperti seseorang yang mengatakan, “Ini terlalu asin”, “Makanan ini kurang garam”, “Ini terlalu asam”, “Terlalu encer”, “Belum matang” dan kalimat-kalimat serupa dengan itu. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, 14/26)

Rasa-rasanya kebiasaan mengomentari makanan sangat familiar dan menjadi kebiasaan. Inilah akhlak nubuwah yang telah ditinggalkan kaum muslimin, kebiasaan yang terlihat remeh dan dianggap biasa, tapi akhlak tersebut mengandung ketinggian budi dan kesempurnaan adab yang diajarkan Nabi kepada kita.

Episode lain tentang teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang makanan adalah; ketika dihidangkan makanan yang kurang beliau sukai adalah ketika istri beliau Maimunah radhiyallahu ‘anha menghidangkan kadal gurun (Dhabb) yang dipanggang kepada beliau.

Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyentuhnya sama sekali. Khalid bin Walid yang pada kesempatan itu berada di sana bertanya, “Apakah ini haram ya Rasulullah?” pertanyaan untuk memastikan tentang hukum memakannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang kurang suka dengan dhabb berkomentar dengan sangat halus ketika menolak untuk memakannya. Sebuah komentar tanpa celaan atas apa yang dihidangkan, beliau bersabda:

“Tidak, akan tetapi dhabb ini tidak ada di kampungku, sehingga aku kurang suka.” (HR. Al-Bukhari)

Sebuah tutur yang indah dan adab penuh hikmah dalam berkomentar akan makanan yang kurang disukai, dan inilah yang telah diteladankan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, agar tidak mudah mencela makanan yang kurang disuka.

Juga termasuk akhlak nubuwah adalah memuji makanan yang dihidangkan, meskipun makanan tersebut sangat-sangat sederhana. Dan hal ini termasuk pemuliaan terhadap orang yang telah menghidangkan makanan tersebut.

Adalah sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mempunyai satu memori indah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada sebuah jamuan. Di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika bertanya kepada keluargnya soal makanan apa yang tersedia.

Ternyata yang dimiliki saat itu sekedar cuka, dan tidak ada yang lain. Hanya cuka. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta cuka tersebut dihidangkan, kemudian berkomentar,

نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk adalah cuka. Sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim)

Inilah kesederhanan dan akhlak nubuwah yang hilang dari kehidupan kaum muslimin saat ini. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan moderen yang condong kepada gaya hidup hedonis, adab dan akhlak soal kesederhanaan mulai terkikis.

 

Bersyukurlah, Apapun Makananmu

Menikmati makanan yang dimiliki adalah bagian dari bentuk syukur nikmat atas rezeki yang Allah berikan. Dan dengan tidak mengomentari dengan celaan atas makanan adalah wujud beryukur atas nikmat yang masih diberikan.

Tahanlah lisan untuk mengomentari makanan. Karena teladan dari akhlak nubuwah yang dicontohkan kepada kita begitu sederhana; makanlah sesuatu yang cocok jika itu sesuai dengan selera, dan tinggalkan tanpa perlu berkomentar sesuatu yang mungkin kurang disuka.

Maka dengan melazimi akhlak nubuwah ini, kita menghormati mereka yang telah berupaya menghadirkan makanan untuk kita sekaligus wujud syukur atas nikmat Allah.

Semoga Allah hadirkan dalam hati setiap kita rasa cukup dan ridha atas makanan yang dimiliki, dan dijadikan lisan-lisan kita melafalkan pujian untuk makanan yang didapati, serta dijauhkan dari tabiat suka mencela makanan yang kurang diminati. Wallahu a’lam

 

0 comments:

Posting Komentar

<<< P e n d i d i k a n >>> <<< P e r t a n i a n >>>