Rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah diterpa badai masalah yang sangat
berat. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, dituduh selingkuh.
Ketika itu, orang-orang munafik menyebarkan hadīṡul ifki (berita
bohong) secara masif.
Sehingga banyak orang yang ikut-ikutan
memviralkan berita hoaks di tengah masyarakat Madinah. Salah satunya adalah
Misthah bin Utsatsah. Padahal, Misthah adalah kerabat dekat yang sering dibantu
oleh Abu Bakar ash-Shiddiq.
Tidak lama kemudian, wahyu turun membebaskan
Aisyah dari tuduhan itu. Abu Bakar, merasa sangat bahagia karena putrinya
dibela langsung oleh Allah.
Tapi, Abu Bakar masih merasa kecewa terhadap
Misthah lantaran keterlibatannya dalam penyebaran berita dusta. Gegara itu, Abu
Bakar pun berniat untuk memberhentikan bantuan kepada Misthah.
Maka Allah memberi teguran dengan halus kepada
Abu Bakar,
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ
يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ
اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ
اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wa lā ya`tali ulul-faḍli minkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā
wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna
ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.
An-nur : 32)
Setidaknya ada dua faedah yang bisa kita ambil
dari ayat di atas;
Pertama, memaafkan adalah
perbuatan yang lebih mulia daripada memendam rasa kecewa.
Kedua,dengan memaafkan
sesama, Allah akan mengampuni semua dosa-dosa kita.
Perintah Memaafkan
Kesalahan Sesama dalam Al-Quran
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah
menyakiti atau disakiti oleh orang lain.
Baik itu disengaja atau tidak, kalimat yang
kita ucapkan terkadang menyinggung perasaan orang lain.
Begitu pula sebaliknya, boleh jadi seseorang
membuat kita merasa jengkel. Kata-kata yang diucapkan, serta tindak tanduk yang
dilakukan, telah merusak kenyamanan hati kita.
Nah, dalam kondisi seperti ini, Islam
mengajarkan umatnya agar menjadi pribadi yang pemaaf.
Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain
banyak disebutkan dalam al-Quran. Salah satunya yang paling berkesan ada di
surah al-a’raf : 199 yang berbunyi,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ
الْجٰهِلِيْنَ
Khużil-’afwa wa`mur bil-’urfi wa a’riḍ ‘anil-jāhilīn
“Jadilah pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan
orang-orang yang bodoh.”
Tinjauan bahasa
perintah saling memaafkan dalam QS. al-A’raf: 199
Apa maksud ayat di atas?
Kata khuż atau ambillah
bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan. Dalam kata ini, terkandung arti
memilih dari sekian banyak pilihan.
Artinya, Allah memerintahkan manusia–melalui
kata khuż–untuk memilih memaafkan kesalahan orang lain
dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas, marah,
mengamuk, atau menyimpan dendam kesumat.
Kemudian, maaf yang dimaksud dalam ayat ini
bukanlah sekedar ucapan belaka, melainkan memaafkan dengan sepenuh hati.
Kata al-’afwu atau maaf
diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ’ain, fa,dan waw. Akar ini
memiliki dua kemungkinan makna, yakni meninggalkan sesuatu dan memintanya.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa seseorang
yang telah memaafkan kesalahan orang lain berarti ia benar-benar meninggalkan
(menghapus) kesalahan tersebut. Tidak mengungkit-ungkitnya kembali.
Tafsir surah al-A’raf
ayat 199
Sangat menarik pemaparan al-Biqa’i rahimahullah ketika mentadaburi potongan ayat khuż al-’afwa, yakni; ambillah apa
yang telah Allah anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan diri.
Dengan kata lain surah al-A’raf ayat 199
memerintahkan kita untuk menganggap enteng kesalahan orang lain, tidak
membesar-besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan sebelum orang yang
bersangkutan meminta maaf.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkesimpulan bahwa ayat ini merangkum berbagai
sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat; mulai dari berinteraksi
dengan baik seperti memaafkan orang lain, tidak saling bertikai, hingga
memerintahkan segala perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan
(saling mengingatkan dalam ketakwaan).
Keutamaan Saling
Memaafkan Kesalahan Sesama
Dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, Syaikh Mahmud al-Mishri berkata bahwa saling memaafkan adalah
pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai antara sesama manusia,
“Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan member Maaf dan perkataan
yang baik.”
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا
وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Wa jazā`u sayyi`atin sayyi`atum miṡluhā, fa man ‘afā wa aṣlaḥa fa
ajruhụ ‘alallāh, innahụ lā yuḥibbuẓ-ẓālimīn
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari
Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-syura : 40)
Dari ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa
memaafkan adalah ciri orang-orang shalih.
Demikianlah. Al-Quran memberi petunjuk
meskipun seseorang telah sengaja menzalimi kita, menyakiti kita baik dengan
perkataan atau perbuatan, tetap harus dibalas dengan kebaikan.
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Wa laman ṣabara wa gafara inna żālika lamin ‘azmil-umụr
“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Asy-Syura : 43)
Maka dari itu, di bulan Ramadhan yang penuh
berkah ini, marilah kita awali dengan niat memperbaiki diri. Dimulai dengan
bertobat kepada Allah dan saling memaafkan kesalahan sesama. Karena salah satu
ciri orang bertakwa adalah, dia yang mudah memaafkan.
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ
وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِيْنَۚ
Allażīna yunfiqụna fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa
wal-’āfīna ‘anin-nās, wallāhu yuḥibbul-muḥsinīn.
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali imron : 134)
Inti dari memaafkan adalah memperbaiki
hubungan. Dan ini menjadi pertanda keimanan. Nabi bersabda,
الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا
يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Seorang mukmin itu mau menjalin hubungan baik dengan sesama. Tidak
ada kebaikan bagi yang tidak mau memperbaiki hubungan. Dan sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath no.
5783; HR. Al-Haitsami no. 13096. Al-Haitsami berkata: diriwayatkan oleh Ahmad
dan al-Bazzar, rijal Ahmad adalah rijal yang shahih) Wallahu a’lam
0 comments:
Posting Komentar